Thursday, March 23, 2006

Langit dan Bumi

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

"Yak, selamat siang bapak-ibu. Lebih baik kami terus terang meminta, daripada kami menodong atau mencuri, bla..bla..bla... sekedar untuk makan, bla..bla..bla..."

Intinya mereka minta duit. Katanya sih sekedar untuk makan. Tapi kalau melihat penampilan fisik... sepertinya mereka makan sesuatu yang tidak menyehatkan.

Agak kaget juga aku waktu 2 orang bertubuh cukup besar, dengan tato dilengan dan mata agak kemerahan naik kedalam angkot. Memang lagi macet *Bulak Kapal gitu lho*, jadi siapa saja bisa dengan leluasa naik turun angkot yang pintunya selalu terbuka.

Gadis disebelah saya langsung pindah ke kursi sebrang karena salah satu preman itu *mugkin itu sebutan yang cocok buat 2 orang laki-laki itu", ngoceh sambil memegang paha si gadis. Arghhh kurang ajar!

Tinggallah saya sendiri duduk di pojok *di sisi angkot yang biasanya muat untuk 4 penumpang*. Plus 4 orang di sisi lainnya.

"Maaf", ucap ku sambil mengangkat telapak tangan *isyarat tidak memberi*.
"Maaf! Ntar tunggu lebaran badak!"

Ya Alloh... agak kaget dan sedikit takut juga dibentak preman itu. Tapi aku tetap keukeuh sureukeuh ga mau ngasih uang dan kembali mengangkat telapak tangan.

Tidak berhasil nakut-nakutin aku, preman itu beralih ke penumpang lain. Semua tidak ada yang memberi kecuali seorang ibu di ujung sana yang nampak ketakutan.

"Lumayan, dapet serebu", mungkin begitu pikir mereka.

Alhamdulillah mereka pun turun.
***

Masih tetap macet, panas, tenggorokan jadi kering.

"Aqua gelasnya satu, Bang", sambil menyodorkan selembar ribuan.
"Kembaliannya ambil aja Bang".

"Ngga usah Neng", sambil si Abang tersenyum ramah dan sedikit memaksa saya untuk mengambil kembaliannya.

Ya Alloh... saya kembali kaget. Subhanalloh masih ada orang seperti ini. Padahal saya dengan suka rela dan senang hati berniat memberikan kembalian itu. Dan beliu pun bisa dengan mudah menerimanya. Tapi dengan santun si Abang menolaknya.

Merasa cukup dengan apa yang didapat dan tidak serakah terhadap harta dunia, sikap itu yang aku pelajari dari beliau. Subhanalloh... Bekerja dijalanan, dibawah terik matahari, dengan baju lusuh karena peluh, diantara kendaraan dan asap knalpot ternyata tidak lantas menjadikan hati seseorang berdebu dan beku.

***

Bagai jarak antara langit dan bumi... jauuuuuh... Begitu aku mengumpamakan sikap dua preman tadi dengan penjual minuman.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Sunday, March 12, 2006

Our First Anniversary

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Percakapan di telepon, Bandung-Bekasi
…..
“Kamu udah ada yang ngelamar belum?”
“Belum. Emang kenapa? Kok nanya gitu?”
“Kalo aku yang ngelamar gimana?”
Hening sejenak
“Aku minta waktu untuk ta’aruf”
…..

Kaget. Masih ga percaya kalau mas Tham yang nanya. Aku memang sudah mengenalnya, tapi sebatas teman.
sama-sama kuliah di STT Telkom Bandung *aku ambil Teknik Industri dan mas Tham jurusan Teknik Informatika*
sama-sama angkatan 1997
sama-sama ngajar TPA Masjid Syamsul Ulum
sama-sama aktif di Bidang Usaha SKI *aku di BKM, mas Tham di BMT*
waktu aku sakit campak dan akhirnya harus parktikum Sistem Informasi sendirian, mas Tham yang ngajarin aku tentang pemrograman.

Ya, karena itulah aku mengenal mas. Hampir semuanya karena urusan kuliah dan aktivitas kampus. Ternyata... dari temen bisa jadi demen :D
***

Sabtu, 12 maret 2005
“Saya terima nikahnya Irma Yunita binti Mochammad Isro dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”

Janji yang diucapkan tepat setahun lalu, seolah masih terbayang di depan mata, masih terdengar jelas di telinga.



………..
Ya Allohu Robbi
Yang Maha membolak-balikkan hati ini
Tetapkanlah hati kami
Agar tetap saling mencintai

Bisa seiring sejalan bersama
Di kehidupan dunia
Berharap di akhirat kelak dapat berjumpa
Dalam taman indah bernama syurga
***
Petikan dari hadiah untuk suamiku tercinta :)

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Thursday, March 09, 2006

Another Story About TKW

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dua kali perjalanan ke negara tetangga, dua kali punya teman seperjalan TKW dan dua kali juga saya tidak tahu pasti bagaimana kabar mereka berdua. Yang pertama, Mbak Iki… *baca tulisan saya sebelum ini*. Dan yang kedua, sebut saja Mbak Iku….

Dua tahun kerja di kilang *maksudnya, pabrik*. Habis kontrak kerjanya, Mbak Iku pulang ke Indonesia, tepatnya ke Lampung Utara. Pertama kalinya pulang kampung, dan sendirian!

Masih ada lagi, di Jakarta nanti tak ada keluarga yang menjemput karena kepulangannya dimajukan beberapa hari dari jadwal semula. Padahal Mbak Iku masih belum tahu bagaimana melanjutkan perjalannya ke Lampung Utara.

Ya Alloh… Saya mbayangin gimana kalau saya yang ada di posisi Mbak Iku…

Saya pun menemaninya di Bandara dan ternyata kita duduk bersebelahan dalam pesawat. Sambil menunggu, sempat ngobrol-ngobrol juga dengan penumpang lainnya. Ada 2 orang bapak, yang satu pulang ke Cianjur dan yang lainnya ke Serang.

“Kalau gitu pulangnya bareng saya saja. Biar saya antar sampai Merak. Dari sana baru saya ke Serang, paling-paling Cuma 1 jam-an”, kata si Bapak.

Alhamdulillah… sedikit tenang, karena Mbak Iku tidak benar-benar sendirian. Dan saya perhatikan kedua bapak itu juga nampaknya orang baik.

Saya dan 2 bapak tadi berencana meloloskan Mbak Iku keluar dari Bandara Soekarno Hatta melalui pintu penumpang umum! Bismillah…. Mudah-mudahan berhasil…

Lokasi: di Bandara Internasional Soekarno-hatta.
Cek imigrasi ok, cek bagasi ok. Satu koper buesar Mbak Iku dibawa oleh si Bapak, dan tas besar lainnya dibawakan Bapak yang lain. Mbak Iku hanya membawa tas tangan dan persis ada disebelah saya *ceritanya lagi menyamarkan*.

Hanya beberapa meter dari pintu keluar
“Coba lihat passportnya”.
Seseorang tidak berseragam, mengenakan kartu pengenal yang separuhnya tertutup jaket, menghentikan kita.
“Kamu, boleh keluar”, ditujukan ke saya.
“Kamu, ikut saya”, jari telunjuknya mengarah ke Mbak Iku.

Ya Alloh….

Singkat cerita, koper buesar sudah dibawa Mbak Iku, tapi tas besarnya ada di saya yang menunggu di luar.

“Wah, saya harus nunggu sampai jam berapa nih?”
“Memang kenapa Mbak?”

Sebut saja namanya Pak Eko, tadi sempat bertemu waktu check-in, rupanya beliau masih menunggu jemputan. Saya ceritakan semuanya….

Pak Eko masuk lagi kedalam bandara menanyakan keberadaan Mbak Iku. Ternyata Mbak Iku sudah digiring ke jalur khusus TKI dan mungkin sekarang sudah ada di terminal 3.

Wah, paniklah saya. Terminal 3? Dimana tuh? Tasnya Mbak Iku bagaimana? Saya pun tak tahu nomor HP nya. Beruntung, jemputan Pak Eko sudah datang. Beliau berbaik hati mau mengantarkan saya ke terminal 3.

Ternyata letaknya terpisah jauh dari terminal 1 dan 2. Dari Bandara, para TKI diangkut lagi dengan bus menuju tempat ini. Setelah menjelaskan maksud kedatangan di pos penjaga, sesorang mengantarkan kami. Hanya satu orang saja yang boleh masuk. Karena masih menginngat wajah Mbak Iku, jadilah saya yang masuk kedalam satu ruang besar seperti hall *atau lantai 1 nya GSG di ST3*. Ada ratusan TKW ada disana, dipisahkan berdasarkan tujuan mereka. Ada yang ke Surabaya dan berbagai daerah lainnya.

Sambil mencari-cari Mbak Iku, saya pun ngobrol dengan orang yang menemani itu.
“Pak, kenapa TKW pulangnya harus melalui terminal 3?”
“Karena dulu waktu mereka berangkat kan melalui Depnaker, jadi pulangnya juga begitu dong.”
“Kalau ada keluarga yang menjemput di Bandara gimana?”
“Yaa… ngga boleh. Ngga boleh dijemput keluarga. Tetap harus melalui terminal 3.”
“Oooo… *?*”
‘Trus, nanti mereka dipulangkan dengan travel? Yang udah nunggu didepan itu ya?”
“Bukan travel, tapi angkutan khusus.”

Mulut saya mengoceh, mata masih terus kelilingan mencari mbak Iku.

“Setiap hari selalu ramai seperti ini Pak?”
“Wah, bahkan bisa sampai ribuan Mbak?”
“Hah?? Kasihan dong mereka kalau tempatnya terlalu penuh.”
“Ya ngga juga. Secara berkala ada yang dipulangkan dengan angkutan khusus.”

Alhamdulillah…. Saya pun bertemu dengan Mbak Iku. Kami saling berpelukan, seperti layaknya teman lama. Sedikit tenang karena ada beberapa orang TKW yang juga pulang ke Lampung. Setelah bertukar alamat dan nomor telepon, kami pun berpisah lagi, dan berjanji untuk saling memberikan kabar begitu sampai rumah.

Hati-hati Mbak. Semoga selamat dalam perjalanan dan sampai tujuan…
Lagi-lagi Pak Eko berbaik hati mengantarkan saya kembali ke terminal 2 karena harus naik bus Damri.

2 hari setelah itu, saya coba telepon Mbak Iku, sampai beberapa kali, tapi yang terdengar selalu nada sibuk. Ah… semoga kau baik-baik saja Mbak…

Pucuk dicinta ulam tiba, Mbak Iku akhirnya menelpon saya keesokan harinya. Sayang, saat itu saya tak di rumah. Ada salam darinya. Ah… Alhamdulillah kau baik-baik saja.
**

Yang pertama,
Terima kasih untuk 2 orang bapak yang sudah berniat mengantarkan Mbak Iku sampai ke Merak. Terima kasih juga untu Pak Eko yang sudah berbaik hati mengantarkan saya ke terminal 3 dan balik lagi ke terminal 2, walaupun harus berputar-putar cukup jauh. Senang rasanya masih ada yang peduli dengan sesama, dengan para TKI.

Yang kedua,
Kenapa kami berniat meloloskan Mbak Iku melalui pintu keluar penumpang umum? Karena sudah ada yang bersedia mengantarkan sampai Pelabuhan Merak. Supaya bisa lebih cepat sampai dirumah, tidak tertahan dulu di terminal 3. Supaya tidak perlu membayar biaya administrasi di terminal 3 *kabarnya begitu*. Saya belum tahu, apakah ada peraturan tertulis, bahwa setiap TKW yang tiba di Bandara Cengkareng HARUS melalui terminal 3?

Yang ketiga,
Kenapa pintu keluar penumpang umum dan TKI harus dipisahkan? Kita sama-sama bayar tiket, bayar pajak bandara juga. Tapi kenapa TKI diperlakukan berbeda? Seolah-olah mereka dari kelas yang berbeda…

Yang keempat,
Apakah keberadaan terminal 3 cukup aman, efektif dan efisien?
Lebih baik mana jika dibandingkan TKI pulang dengan usaha mereka sendiri?
Pernahkan Depnaker melakukan survey tentang hal ini?

Yang kelima,
Mbak Iku pernah cerita, ada kawannya yang diminta tambahan ongkos ditengah perjalanan. Padahal sebeleumnya, besarnya ongkos sudah disepakati bersama. Pernah dengar juga berita tentang TKI yang dirampok ditengah jalan, bahkan sampai di bunuh. Tanggung jawab siapa kah semua ini?

Yang keenam,
Mimpi saya, tak ada lagi pintu keluar atau jalur khusus TKI. Mereka dan penumpang lainnya keluar dari pintu yang sama. Begitu diluar sudah dinanti sanak keluarga yang menjemput, atau bisa langsung ke bus Damri ke berbagai tujuan. Bukan di kerubungi calo-calo mobil yang langsung tarik tas orang, bahkan langsung ngeloyor membawa tas orang. Semoga…
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ada Apa Dengan Doneeh?

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Tiba-tiba saja shout box saya ga berfungsi. Tampilannya seperti ini nih…




Akhirnya cari shout box lain. Taraaaaa…. Jadilah shout box seperti disamping kanan. Cantik kan? Hehehe… muji sendiri. Dapat dari Oggix.

Mangga atuh, teteh-teteh, mbak-mbak, mas-mas, temen-temen sadayana, silahkan meninggalkan jejak pada kunjungan anda J

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Mbak Iki

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Sebut saja namanya Mbak Iki (bukan nama sebenarnya). Gadis hitam manis mengenakan tank top, berjalan *kelihatannya* penuh percaya diri sambil mendorong trolinya.

Mbak Iki dan saya sama-sama sedang mengantri untuk check-in. Sempat ngobrol sebentar, ternyata ini kali pertamanya pergi sendirian, biasanya selalu bareng teman. Check-in, bagasi, selanjutnya urusan fiskal.

“Mbak Iki bayar fiskal ngga?”
“Tak lah. Saye kan dah kerje di sane.”
“Kalau gitu, harus isi form permohonan bebas fiskal.”

Surat bebas fiskal saya sudah keluar. Mbak Iki mengurus formnya sendiri.

“Tak boleh. Mesti bayar lah”, sambil ngeloyor pergi ke loket pembayaran.

Saya masih terheran-heran.

“Kok bayar Mbak Iki? Kan udah kerja disana. Ada ID card sana ngga?”
“Tak ade.”
“Ooo……”, sambil mikir karena masih bingung. “Mbak, kalau udah kerja disana harusnya punya ID card. Nah setelah itu bisa urus bebas fiskal di KBRI sana”, saya menjelaskan dengan semangat.
“Iye ke?”

Kita ngobrol-ngobrol lagi sambil jalan ke pemeriksaan imigrasi. Antri di belakang mbak Iki, kenapa lama sekali? Akhirnya saya pun pindah ke antrian sebelah. Selesai lah urusan imigrasi.

Mbak Iki di hand over ke petugas yang lain. Samar-samar saya dengar
“Tolong lah Pak”, suara mbak Iki memelas.

Saya coba agak mendekat

“Macam mane ni Pak?”
“Tidak bisa. Harus ganti passport dulu. Dulu buatnya dimana?”
“Di Jawa.”
“Berarti gantinya disana juga.”

Kemudian mbak Iki diminta menemui petugas yang lain.

Ya Alloh, ternyata…
Mbak Iki memang seorang TKW… tapi itu dulu, sekarang tidak lagi. Kepergiannya kali ini dalam rangka berlibur, menemui kawannya yang masih disana, menggunakan passport TKI.

Sampai disini saya ngga tahu lagi bagaimana nasib Mbak Iki. Juga nasib tiket return-nya seharga 178 USD, nasib kopernya yang sudah masuk bagasi, nasib pajak bandara yang 100 ribu rupiah, juga nasib pembayaran fiskalnya sebesar 1 juta rupiah.

Harusnya Mbak Iki satu pesawat dengan saya. Tapi saya tidak melihatnya didalam pesawat, bahkan sampai akhirnya sampai ditujuan….

Ah…. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana kesudahan kejadian ini.
**

Yang pertama,
Malu bertanya sesat dijalan. Pepatah ini memang benar adanya. Kalau memang belum tahu, tidak ada salahnya bertanya, mencari informasi yang jelas. Terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan prosedur dan uang!

Yang kedua,
Ada passport biasa. Ada passport TKI. Ada passport haji. Tapi kenapa tidak ada passport pekerja kantoran? Tidak ada passport pelajar? Tidak ada passport plesiran? Bingung karena kebanyakan?

Ok, kalau bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit? Cukup satu passport, PASSPORT INDONESIA. Masalah peruntukannya, terserah kepada setiap orang. Selama tidak melanggarhukum di Indonesia dan negara lain yang dituju, ngga masalah kan?!

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Note: Semoga engkau baik-baik saja Mbak

Saturday, March 04, 2006

Arghhhh....

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Membawa koper buesar, pakai jilbab, muka yg 100% Indonesia plus menggunakan penerbangan dari Arab. Kita-kira apa yang ada dalam pikiran Anda? Hmm mungkin jawabannya beragam. Tapi kalau saya nanya nya ke petugas yang ada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, kemungkinan besar jawabannya hanya satu TKW!

Percakapan (?)

“Lewat sini mbak!” seorang petugas berseragam mengarahkan saya ke tempat yang bertuliskan “JALUR KHUSUS TKI”.
"Saya bukan TKI Pak!” sambil berbelok ke arah pintu keluar untuk penumpang umum.

Rupanya petugas tadi masih belum puas dan mendekati saya lagi.

“Pelajar ya mbak?” tanya nya lagi. Mungkin karena melihat saya yang jelas-jelas sedang menenteng tas laptop.
“Iya Pak”, jawab saya sekenanya.
“Coba lihat passportnya.”
“Saya bukan TKW Pak.”
“Iya, coba lihat passportnya!”, suaranya mulai agak tinggi.
“Saya bukan TKW Pak! Saya tinggal di Singapura. Saya permanent Resident di Singapura”, dengan suara yang sama tingginya dengan petugas. Ga tau deh dia ngerti maksudnya atau nggak.
“Iya, lihat passportnya. Soalnya banyak TKW yang bilangnya begitu. Ada masalah diluar negeri, larinya ke Indonesia!”
“Ya terserah, yang jelas bukan saya. Saya bukan TKW!

Capek adu suara, akhirnya saya keluarkan juga passport saya. Si petugas membolak-balik halaman demi halaman, sepertinya sedang berusaha keras mencari bukti kalau saya benar TKW.

“Ya udah”, sambil terus ngeloyor pergi meninggalkan saya yang terbengong-bengong keheranan.

Udah? Begitu aja? Tanpa permintaan maaf karena sudah menuduh orang sembarangan dan memperlakukan orang dengan tidak sopan!

Arghhhh…. Dzig 100x…. Rasanya pengen banget mukulin bolak-balik si petugas sampai jatuh terkapar. Begitu dia siuman, langsung sadar kalau perbuatannya salah *brutal.com*.
**

Yang pertama,
sebenarnya saya sih ga masalah disangka TKW, disangka buruh pabrik, disangka pembantu atau apalah.Tapi yang nyebelin kalau prasangka itu mempengaruhi perlakuan mereka terhadap kita. Padahal di sisi kanan imigrasi check point tertulis besar-besar “SELAMAT DATANG PAHLAWAN DEVISA”. Masa’ sih begini cara memperlakukan pahlawanmu?

Yang kedua,
saya sudah lolos di pengecekan bagasi dan imigrasi. Untuk urusan apalagi petugas itu memeriksa passport saya? Hanya beberapa meter menuju pintu keluar. Selain itu, passport itu punya saya kan, kalau mau meminjam atau sekedar melihat milik orang lain, mbok ya minta izin nya yang sopan.

Yang ketiga,
waktu itu, saya mamakai kaos oblong plus rok. Gaya favorit saya kalau sedang diperjalanan, biar lebih nyaman dan simple. Mungkin juga gaya yang sama dengan para TKW. Lain kali, mungkin saya coba berpakaian sedikit lebih rapi dan kita lihat bagaimana hasilnya? *Arghhh… sebenernya lebih tepat kalau petugas itu yang merubah sikapnya, bukan saya yang harus sedikit merubah penampilan*

Yang keempat,
kalau ada petugas yang mengarahkan ke jalur khusu TKI, ga perlu emosi. Adu suara cuma buang tenaga dan bikin BT. Cukup dijawab:
“Saya bukan TKI Pak.
Bapak mau periksa passport saya?
Silahkan…”

Yang kelima,
saya kok masih mangkel dengan kata-kata petugas tadi
“Soalnya banyak TKW yang bilangnyabegitu *maksudnya, ga ngaku kalau jadi TKW*. Ada maslah diluar negeri, larinya ke Indonesia.”
Aneh bin ajaib…
TKI atau TKW masih berstatus WNI, Warga Negara Indonesia. Jadi sangat wajar kalau mereka pulang atau lari *menurut saya lebih tepatnya berlindung* ke kampung sendiri. Masa’ mau kabur ke kampung orang lain? Yang ini sih biasanya kelakuannya koruptor.
Kalau tidak salah, gaji para TKW juga dipotong pajak *makanya disebut pahlawan devisa*. Jadi hal yang wajar juga jika pemerintah Indonesia memberikan fungsi pendampingan dan perlindungan kepada mereka, baik disaat senang atau terganjal masalah. Hubungan saling memberi dan menerima gitu loh…

Yang keenam,
Bandara INTERNASIONAL Soekarno-Hatta. Tapi kenapa pelayanannya tidak mencerminkan skala internasional-nya. Setidaknya kalau saya bandingkan dari Bandara internasional di tetangga sebelah. Jauuuh berbeda.

Yang terakhir,
Saya masih bingung, menyebut bapak tadi dengan oknum petugas atau cukup petugas berseragam sajah. Ah… mudah-mudahan hanya oknum.

Note:
Judul tulisan ini sebenarnya “Kalau TKW (look like) ada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta”

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.